Sabtu, 14 Agustus 2010

PERKEMBANGAN HIPERBARIK DI INDONESIA

Terapi hiperbarik mungkin baru segelintir orang yang mengenalnya. Di Indonesia, pemanfaatna HBOT pertama kali oleh Lakesla yang bekerja sama dengan RS Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya, tahun 1960. Hingga saat ini fasilitas tersebut masih merupakan yang paling besar di Indonesia. Sementara di tempat lain telah tersedia pula fasilitas terapi oksigen hiperbarik, diantaranya adalah RSAL Dr Mintohardjo Jakarta,RS. JAKARTA, RSAL Halong Ambarawa, RSAL Midiato, RSP Balikpapan, RSP Cilacap, RSU Makasar, RSU Manado, RSU Sangla Denpasar, dan Diskes Koarmabar.

Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori Toricelli yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm adalah 760 mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang terkandung di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2) 21%. Dalam pernafasan kita pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen ruangan yang disediakan mengandung Oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga berdasarkan teori fisika dasar dari hukum-hukum Dalton, Boyle, Charles dan Henry.

Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya O2 pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua organisme. Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh melalui cara pertukaran gas. Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal.

Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah terapi medis dimana pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau pada tekanan barometer tinggi (hyperbaric chamber). Kondisi lingkungan dalam HBOT bertekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan penyakit klinis. Individu yang mendapat pengobatan HBOT adalah suatu keadaan individu yang berada di dalam ruangan bertekanan tinggi (> 1 ATA) dan bernafas dengan oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut sebesar 1 atm. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki, tekanan akan naik 1 atm. Seorang ahli terapi hiperbarik, Laksma Dr. dr. M. Guritno S, SMHS, DEA yang telah mendalami ilmu oksigen hiperbarik di Perancis selama 5 tahun menjelaskan bahwa terdapat dua jenis dari terapi hiperbarik, efek mekanik dan fisiologis. Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma.

Mekanisme HBOT

HBOT memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet vaskuler endotel growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.

Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT yaitu untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema..

Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO2 100%, tekanan 2 – 3 Atm . Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion sickness. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio RNA/DNA, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya pun cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan luka. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di distal.

Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBOT adalah untuk mempercepat penyembuhan penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis, intoksikasi karbonmonoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang sudah nekrotik, Skin graft dan flap, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.

Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90 dengan O2 intermitten akan mencegah keracunan O2. Menurut Paul Bert, efeksamping biasanyaakan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual, kedutan pada otot muka dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping bisamengenai paru-paru yaitu batuk, sesak dan nyeri substernal.

HBOT Meningkatkan Sensitivitas Radioterapi
Penanganan kanker pada umumnya melalui tahapan terapi operasi, radioterapi, kemoterapi dan hormonal. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, oksigen hiperbarik dan herbal merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan sensitifitas efek radioterapi sehingga dapat membantu menekan angka kematian dan meningkatkan angka harapan hidup. Rumkital Dr. Ramelan Surabaya telah memiliki Instalasi Radioterapi dan Oksigen yang merupakan bagian dari unggulan fasilitas kesehatan.

Penelitian hubungan tekanan oksigen dengan radioterapi pada manusia sudah dimulai sejak tahun 1910 oleh Deche. Sedangkan menurut Guritno, yang pada saat diwawancarai masih menjabat sebagai direktur RSAL Dr Ramelan Surabaya, HBOT bermanfaat untuk meningkatkan sensitivitas sel tumor pada radioterapi. Karena pada kondisi hipoksia sensitifitas sel tumor menurun, sehingga dengan HBOT yang meningkatkan perfusi. Dengan demikian akan tercipta kondisi hiperoksia yang menyebabkan sensitifitas sel tumor meningkat. HBOT tentunya juga akan bermanfaat pada healing injury post radioterapi.

Studi dan telaah dilakukan seorang ahli HBOT muda, dr. Arie Widiyasa Sp.OG, Kabag KESLA RSAL Ilyas Tarakan, mengenai pengaruh HBOT terhadap kanker serviks. Kombinasi antara radiasi baik eksternal atau brachiterapi atau keduanya yang dikombinasikan dengan pemberian HBOT akan meningkatkan radiosensitivitas sel kanker serviks. Salah satu modalitas yang dapat dikembangkan saat ini adalah terapi dengan menggunakan oksigen bertekanan tinggi diberikan dengan tekanan 2,0 ATA, 2,4 ATA atau 3 ATA sebanyak 20 – 30 kali dapat dipertimbangkan walau harus tetap mempertimbangkan untung ruginya tindakan tersebut. HBOT dapat memperbaiki sensitivitas sel tumor, meningkatkan persentase angka survival rate, tak jelas dapat mencegah rekurensi atau menurunkan angka kematian. Dengan demikian komplikasi pemberian radioterapi dosis tinggi dapat dicegah sebelum kerusakan menjadi berat dan irreversibel.

Manfaat pada Pasien Post Radioterapi
Dewasa ini terapi radiasi dinilai cukup efektif untuk menangani beberapa kasus kanker yang tidak operable. Namun efek samping radiasi yang bersifat sistemik agaknya sulit untuk dihindari. Contohnya pada radioterapi pelvis yang akan menyebabkan rusaknya epitel, parenkim, stroma, vaskuler rektum dan berujung pada terbentuknya striktur dan fistula. Sayangnya pula terapi yang dilakukan terhadap efek samping tersebut sering tidak berhasil sehingga akan terjadi kerusakan komplek serta terbentuknya mediator yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kemotaksis, demam, rasa sakit dan kerusakan jaringan. American Society for Therapeutic Radiology and Oncology membuat sistem scoring efek samping akut dan efek samping lama.

Menurut Dr. dr. Suyanto Sidik Sp.PD, ahli HBOT dari RSAL Dr. Mintohardjo, radioterapi akan memberikan efek samping seperti rusaknya epitel, parenkim, dan vaskuler dari tubuh. Manifestasi yang paling sering adalah timbulnya struktur dan fistel. Pada umumnya setelah 6 bulan akan terjadi hipoksia, hipovaskuler dan hiposeluler pada jaringan yang terpapar radiasi. Celakanya terapi efek samping ini seringkali gagal karena kerusakan komplek pada jaringan. Terdapat gangguan permeabilitas pembuluh darah, kemotaksis yang disertai manifestasi klinis demam dan nyeri. Terapinya tentu saja adalah dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang hipovaskuler tersebut. Jadi mekanisme penyembuhan luka untuk post radiasi adalah meningkatkan vaskularisasi, memperbaiki fungsi epitel, meningkatkan VEGF, mengatur sintesis dan lisis kolagen. HBOT meningkatkan aktivasi arginin yang berefek pada kolagen sintesis, dan mensupport kontraksi otot.

Sebagai contoh pengobatan HBOT pada injury radiasi dengan proktitis radiasi sebagai model. Efek samping dari terapi radiasi pada karsinoma rongga pelvis adalah proktitis radiasi. Efek samping ini bermanifestasi tergantung dari dosis, fraksinasi, luas dan teknik radiasi. Adanya riwayat radioterapi pelvis biasanya ditandai dengan gejala : sakit perut, diare, anorexia, dan mual. Pada pemeriksaan rekto-sigmoidokopi didapatkan erythema, edema, teleangiektasis, erosi, bahkan ulkus. Pada pemeriksaan PA diketahui adanya sebukan sel radang diikuti gambaran histologik lamina propia terhialinisasi, sub mucosa fibrotik, ektasia vaskuler, nekrosis fibrinoid yang dibandingkan dengan pembuluh darah fibroblas atipik. Gejala yang merupakan manifestasi dari efek samping akut ini biasanya muncul dengan frekuensi 50 – 70 %. Sedangkan efek samping lanjutan umumnya bermanfest dengan sakit perut, tenesmus, dan hematochezia. Gejala efek samping jenis ini biasanya hanya timbul 2,5 – 25 %. Efek yang lebih berat lagi apabila gejala efek samping tersebut disertai dengan diare lendir dan darah.

Pada kanker nasofaring yang mendapat radioterapi, HBOT dapat berguna untuk pencegahan terjadinya mandibular necrosis. Pada kanker leher rahim dan kanker prostat yang mendapat radioterapi HBOT bisa untuk prevensi radiosistitis. Pasien Face-off, Lisa, yang sempat menghebohkan dunia bedah plastik sebelum ini, sempat membuat pusing para dokter yang merawatnya karena kecenderungan nekrosis flap hasil pemindahan. Atas saran Guritno, Lisa akhirnya diterapi HBOT, dan hasilnya cukup baik. Kulit yang sebelumnya ditakutkan akan nekrosis menjadi pulih kembali.


Oksigen Hiperbarik
Ketika oksigen dihirup pada konsentransi yang lebih tinggi dari yang ditemukan dalam atosfir, udara pada keadaan ini pertimbangkan sebagai obat. Berdasarkan definisi ini oksigen hiperbarik kemudian dipastikan sebagai obat dan dapat dipergunakan dalam suatu terapi. (1)
Terapi oksige hiperbarik merupakan bentuk pengobatan, penderita harus berada dalam ruangan bertekanan dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu sebesar 1 atm (760 mmHg). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau berada dalam ruangan udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yaitu suatu ruang kedap udara terbuat dari perangkat keras yang mampu diberikan tekanan lebih besar dari 1 atm (ruang kompresi) beserta sumber oksigen dan sistem penyalurannya ke dalam ruang rekompresi tersebut.
Dua efek penting yang mendasar pada terapi oksigen hiperbarik adalah: (11) Efek mekanik meningkatnya tekanan lingkungan atau ambient yang memberikan manfaat penurunan volume gelembung gas atau udara seperti pada terapi penderita dekompresi akibat kecelakaan kerja penyelaman dan gas emboli yang terjadi pada beberapa tindakan medis rumah sakit. Efek peningkatan tekanan parsial oksigen dalam darah dan jaringan yang memberikan manfaat terapeutik: bakteriostatik pada infeksi kuman anaerob, detoksikasi pada keracunan karbon monoksida, sianida dan hidrogensulfida, reoksigenasi pada kasus iskemia akut, crush injury, compartment syndrome maupun kasus iskemia kronis, luka yang tidak sembuh, nekrosis radiasi, skin graft preparation dan luka bakar.
Pembahasan
Terapi oksigen hiperbarik untuk pertama kalinya digunakan pada penyakit dekompresi (DeCompression Ilnes), yaitu suatu penyakit yang dialami oleh penyelam dan pekerja tambang bawah tanah akibat penurunan tekanan saat naik ke permukaan secara mendadak. Dari berbagai penelitian terungkap bahwa oksigen hiperbarik mempunyai manfaat lebih, tidak terbatas pada kasus-kasus penyelaman saja. Satu contoh terapi oksigen hiperbarik yang berhasil, digunakan dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Terapi oksigen hiperbarik sebenarnya merupakan terapi penunjang pada proses penyembuhan luka, Sedangkan perawatan utamanya sendiri adalah debridement dan penjahitan jika diperlukan.
Namun demikian oksigen hiperbarik dapat mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga jaringan yang hipoksia memperlihatkan hasil yang baik pada terapi oksigen hiperbarik. (1) Yusman (13) menyatakan bahwa luka yang sulit sembuh dan luka bakar merupakan indikasi yang tepat untuk rujukan terapi oksigen hiperbarik. Hal ini ditegaskan dalam hasil konfrensi kedokteran hiperbarik tahun 1991 di Ancona Italia, bahwa luka yanga sulit sembuh (delayed wound healing) termasuk dalam kelompok Accepted chronic indication untuk terapi oksigen hiperbarik. (11)
Fisher pada tahun 1969 untuk pertama kali menggunakan oksigen hiperbarik pada 32 pasiennya yang mengalami ulser pada kaki. Penelitian serupa dilakukan pada tahun 1975 pada pasien lainnya. Oksigen dialirkan dan dipertahankan selama 41 menit, terapi dilakukan dua kali sehari dan setiap sesi dilakukan sedikitnya 2-3 jam. Hasil penelitiannya menunjukkan banyak ulkus yang sembuh dengan baik, walau demikian iksogen hiprbarik gagal pada kasus-kasus iskemia hebat.
Ignacio et.al pada 18 pasien denga jenis ulcer yang berbeda dan hasilnya cukup memuaskan. Heng memberikan terapi oksigen hiperbarik secara topikal pada 6 pasien denga 27 ulser (5 dari 6 pasien Penyembuhan terjadi pada hari 6 sampai dengan 21 hari, sedangkan 10 ulser tanpa terapi oksigen hiperbarik tidak terjadi proses penyembuhan pada periode waktu yang sama. (1) Terapi oksigen hiperbarikselain dapat mempercepat proses penyembuhan pada luka diketahui juga dapat mempercepat pertumbuhan jaringan, seperti kasus yang dilakoprkan di RSAL Mintohardjo Jakarta. Kasus transplantasi jari pasien sesaat setelah operasi, pasien terapi denhanoksigen hiperbarik ternyata penyembuhan berjalan lebih cepat dan sel tumbuh lebih cepat. (13) Berikut ini diperlihatkan kasus yang pernah diterapi dengan oksigen hiperbarik di RSAL Dr. Ramelan Surabaya.

Tidak ada komentar: