Rabu, 22 Januari 2014

Terapi Hiperbarik Jangkau Warga Miskin

Terapi Hiperbarik Jangkau Warga Miskin

SURABAYA – Harapan masyarakat miskin untuk memperoleh pengabatan murah dengan terapi medic oksigen hiperbarik segera terealisasi.

Ini menyusul rencana pemerintah untuk memasukkan program layanan medis tersebut ke dalam program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Tak hanya itu, pemerintah juga berharap nantinya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa memenuhi kebutuhan masyarakat akan jenis layanan medis tersebut. Hal ini disampaikan Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti dalam acara Seminar dan Lokakarya Internasional yang diselenggarakan Lembaga Kesehatan Kelautan TNI-AL (Lakesla) Surabaya di Empire Palace kemarin.

”Terapi oksigen hiperbarik ini sangat menjanjikan, mengingat manfaatnya yang begitu besar terhadap penyembuhan beragam penyakit. Karena itu, penting bagi kita semua untuk merumuskan bersama. Sehingga layanan ini masuk dalam BPJS,”katanya. Ali Gufron menjelaskan, dulu terapi medic oksigen hiperbarik hanya sebatas layanan alternatif. Namun sekarang telah resmi dipakai oleh dunia kedokteran sebagai pengobatan konvensional. Kendati demikian hanya rumah sakit-rumah sakit tertentu saja yang memiliki fasilitas itu.

Sebagaimana disampaikan Kepala Departemen Kesehatan Matra Laut Lakesla Surabaya, Letkol Laut (Pelaut) dr. Djati Widodo, saat ini baru ada 36 chamber (alat untuk terapi hiperbarik) di Indonesia, tersebar di sejumlah rumah sakit. Ini belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat yang begitu besar. Layanan terapi oksigen hiperbarik di Indonesia juga belum memiliki standar baku. Baik standar sumber daya manusia (SDM), indikasi, protokol, maupun standar fasilitas sarana dan prasarana serta peralatan hiperbarik. ”Inilah yang perlu segera dirumuskan bersama oleh para pakar, praktisi dan pemerintah,”imbuhnya.

Lebih dari itu, Djati juga berharap tahun 2014 nanti, terapi oksigen hiperbarik tersebut dapat masuk dalam SJSN. Sebab, kata Djati, layanan medis untuk teknologi baru ini relatif mahal, yakni Rp250.000 untuk sekali terapi. Sementara, rata-rata pasien harus menjalani terapi antara 10-20 kali. ”Kami ingin masyarakat menengah ke bawah juga bisa menikmati. Sehingga perlu ada sokongan dari pemerintah. Apakah itu lewat Jamkesmas atau juga program lain,” imbuhnya.

Lakesla, lanjut Djati juga tengah merancang program tersebut dengan menggandeng pemerintah setempat. Untuk diketahui, teknologi hiperbarik kali pertama tumbuh di Prancis pada pertengahan abad 19, sebelum akhirnya berkembang pesat di Amerika dan China pada tahun 1860. Di Indonesia sendiri terapi oksigen hiperbarik baru ada sekitar tahun 1960, itupun hanya terbatas di rumah sakit TNIAL dan Pertamina. Dan baru setelah tahun 2000, rumah sakit non TNI-AL memakainya. Pengobatan menggunakan tabung bertekanan udara tinggi dan oksigen murni (chamber) ini sendiri memiliki manfaat yang begitu besar.

Selain mengobati penyakit dekompresi akibat penyelaman, terapi ini juga mampu mengobati beragam penyakit. Di antaranya luka pada penderita diabetes melitus (DM), stroke, penyumbatan pembuluh darah, kerusakan jaringan kulit, dan beragam penyakit lainnya. ihya’ ulumuddin 


sumber koran sindo
 Ditayangkan ulang oleh dr. Erick Supondha /Hyperbaric & Diving medicine Consultant. 
Hiperbarik, hyperbaric jakarta, ahli hiperbarik jakarta, hyperbaric doctor jakarta indonesia
021 99070050

Selasa, 21 Januari 2014

Myonecrosis in carbon monoxide poisoning.

Myonecrosis in carbon monoxide poisoning.

Abstract

Myonecrosis is an unusual sequelae to carbon monoxide poisoning with only 16 cases having been reported in the English-language literature. At the University of Illinois Hospital, we encountered a 25-year-old fire academy student who presented to our Emergency Department with a carboxyhemoglobin level of 16% following a training exercise in a smoke-filled room. The patient was not wearing a self-contained breathing apparatus and his duration of exposure was 7-8 min, by which time he had blacked out for about 1 min. Upon arrival, the patient was lethargic, with a moderate inhalation burn. The patient was treated with hyperbaric oxygen at 2 1/2 ATA. Following 90 min of hyperbaric oxygen, slight flexor compartment weakness, along with tenderness of the proximal lower extremities was noted. CPK was elevated to 65,998 (100% mm) with urine dipstick being positive for blood and only occasional rbc's seen in the urine sediment. The patient did well with forced diuresis and alkalinization of the urine. No oliguria was noted and the CPK fell to 893 five days later. This is the only case in the English-language literature who developed myonecrosis from carbon monoxide, despite hyperbaric oxygen treatment. We believe that this case demonstrates that hyperbaric oxygen cannot prevent the development of myonecrosis induced by carbon monoxide.

PMID:
 
3354179
 
[PubMed - indexed for MEDLINE]
sumber : Herman GD, Shapiro AB, Leikin J.
sumber ; scuba-doc.com
 Ditayangkan ulang oleh dr. Erick Supondha /Hyperbaric & Diving medicine Consultant. 
Hiperbarik, hyperbaric jakarta, ahli hiperbarik jakarta, hyperbaric doctor jakarta indonesia
021 99070050